Recent Posts

Critical Eleven



Well, setelah diperhatikan, aku belum pernah menulis review tentang buku , memang karena aku sudah lama sekali tidak baca buku. Jadi kali ini aku akan mencoba menuliskan sedikit mengenai buku yang aku baca. 

It all started from my childhood friend’s story. Betapa dia suka dengan novel karangan Ika Natassa yang menuliskan novel Divortiare, meskipun aku belum pernah membacanya (dan sepertinya tidak akan) aku kemudian tidak sengaja melihat salah satu bukunya di toko buku terkenal yang biasanya selalu ada di Mall. Awalnya sih memang aku menyadari itu karangan Ika Natassa, pengarang yang ia sebutkan, namun yang kemudian sedikit menarik perhatianku adalah adanya stiker yang tertempel di buku tersebut yang bertuliskan terjual beberapa ribu (aku lupa lebih tepatnya angka pastinya) dalam beberapa menit (sekali lagi aku lupa berapa menitnya). Lalu aku mengambilnya dan melihat sedikit sinopsisnya yang menceritakan bahwa ‘dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis dalam pesawat – tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing- karena 80% kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu tersebut’ dan ia menggunakan ungkapan tersebut dalam drama percintaan. Saat kita bertemu seseorang untuk pertama kalinya, tiga menit itu pertama itu sangat penting dan kemudian delapan menit sebelum berpisah. Jadi intinya pada saat itu aku menangkap bahwa novel ini menceritakan dua orang yang sangat terkesan pada pertemuan pertamanya. 

Kemudian aku mencoba membaca halaman pertamanya dan aku langsung tertarik. Bagaimana tidak? aku akan coba mengutipnya di sini. 

I’m one of those weird people who loves airports. There’s just something liberating yet soothing about it. Bahkan saat aku di situ untuk terbang demi urusan bisnis, bandara itu seperti tempat peristirahatan sementara. A temporary break from my mundane life. Tentu nanti begitu mendarat bakal langsung sibuk dengan tumpukan pekerjaan apa pun yang menanti, tapi sementara ini aku bisa “parkir” dulu di sini. 
I admire people who have the ability to sit still. Karena aku tidak bisa. Sudah bertahun-tahun tidak bisa. Aku harus selalu menyibukkan diri dengan sesuatu, karena setiap aku diam, my mind would start to wonder to places I don’t want it to wonder to. Mempertanyakan makna hidup, tujuan hidup ini sebenarnya mau ngapain, apakah aku sudah melakukan apa yang seharusnya aku lakukan sebagai manusia pada umur segini. Rasanya seperti dikejar-kejar Ligwina Hananto yang setiap mengajar  financial planning selalu bertanya, “Tujuan lo apa?” 
Truth is, aku tidak tahu tujuanku apa. I have no idea where I’m going in life. And it gets pretty scary sometimes if I let myself think about it. Yang aku tahu hanya menjalani hidup ini one day at a time, bekerja, makan, tidur, tertawa, ngobrol. As long as I got some jobs to do and men to do, I’m fine. I should be fine. Walau sekarang yang bagian men-nya itu sedang musim kemarau. Sudah setahun. So maybe I’m only half fine

Bagian yang aku bold itu seakan-akan menonjokku dengan keras. Itulah hal yang selalu aku pikirkan belakangan ini. Kalimat tersebut dan gaya cerita dari sudut pandang orang pertama sudah cukup membuatku memutuskan membeli buku ini. 

Aku selalu suka dengan novel yang menceritakan dari sudut pandang orang pertama, jadi seakan-akan aku sedang mendengarkan curhatan langsung dari si karakternya. Novel ini menceritakan tentang dua orang yang bernama Ale dan Anya. Mereka jatuh cinta, menikah, menjalani kehidupan sebagai suami istri yang sangat terlihat sempurna, sampai suatu waktu sebuah tragedi besar terjadi yang menguji kesempurnaan pernikahan mereka. Si penulis sangat mahir memainkan emosi pembaca (dalam hal ini pembaca adalah aku). Aku bisa ikut terlibat merasakan perasaan yang di alami para karakter. Penggambaran emosi dan sifat karakter cukup jelas dan terlihat sangat nyata. Deskripsi tempat, latar belakang karakter dan penceritaannya juga cukup jelas dan tidak bertele-tele. Dan ketika membaca novel ini aku jadi ingat ajaran-ajaran yang diajarkan kepadaku oleh pendetaku dalam bimbingan kelas pranikah. Dan aku membayangkan apa yang akan aku lakukan jika aku mengalami tragedi sebesar cerita tersebut. Dan terus terang aku belajar cukup banyak dari cerita ini. 

Beberapa hal yang agak sedikit menggangguku adalah penggunaan bahasa Inggris yang campur-campur dengan bahasa Indonesia. Aku mengerti jika bahasa Inggris digunakan untuk menjelaskan keadaan atau mendeskripsikan sesuatu. Karena memang bahasa Inggris terkadang lebih bisa menjelaskan suatu keadaan dibandingkan bahasa Indonesia. Yang sedikit menggangguku adalah ketika bahasa Inggrisnya digunakan dalam dialog. Hal itu justru membuat percakapan kelihatan tidak nyata. Coba deh bayangkan, jika pemeran utama karakter ini sudah berusia 33 tahun, maka berapa usia ibunya? Jika si ibu punya anak di umur 25 tahun maka sang ibu sudah berusia 58 tahun. 

Nah sekarang coba bayangkan si ibu berusia 58 tahun tersebut berbicara seperti ini. 

“Aku ini nobody’s favourite, Nya,” celetuknya tiba-tiba. Entah apa yang membuat dia mengucapkan itu. 
But you’re my favourite,” sanggahku waktu itu, menggenggam tangannya. 
“Aku tahu.” Dia tersenyum. “Aku ini nobody’s favourite sampai aku ketemu kamu.” 

Aku tidak tahu dengan pembaca yang lainnya, namun bagiku itu terlihat janggal. Aku tidak yakin lima puluh delapan tahun yang lalu bahasa Inggris sudah menjamur seperti sekarang. Dan dialog menggunakan bahasa Inggris-Indonesia itu digunakan cukup sering di sepanjang buku. 
Yang kedua adalah gaya penceritaan yang bolak-balik. Masa lalu kembali ke masa sekarang, nanti kembali lagi ke masa lalu dan kembali lagi ke masa sekarang. Agak capek sih lama-lama bacanya.
Dan terakhir adalah ending. Tidak banyak ending dari sebuah kisah drama yang cukup memuaskan aku. Ketika selama perjalanan cerita konfliknya sudah sangat bagus, dan tiba-tiba endingnya tidak memuaskan aku. Film seri How I Met Your Mother adalah salah satu contoh cerita dan konflik yang sangat menarik dan membuatku sangat penasaran namun harus diakhiri dengan dua ending karena ketidakpuasan fans pada ending pertamanya. Dan hal ini berlaku dalam novel ini. Aku sudah sangat menantikan penyelesaian konflik dari cerita ini. Dan aku berharap konflik diselesaikan oleh tindakan yang dilakukan langsung oleh para karakter, namun sayangnya konflik diselesaikan oleh suatu kejadian yang terjadi terhadap para karakter. Your action is something that you can control, but you cannot control fate. Dan bagiku sebuah ending yang bagus seharusnya tidak memunculkan pertanyaan ‘what if’ kepada pembacanya. Dan pertanyaan itu muncul di kepalaku. Bagaimana jika kejadian itu tidak terjadi? Apa yang akan dia lakukan? Bagaimana kalau justru yang terjadi seperti ini? Dst. 

Terlepas dari beberapa kekurangan tersebut, aku tetap suka ketegangan yang dibangun oleh cerita ini dan gaya penulisannya. Bukannya aku sok tahu mengenai cara menulis atau apa, namun pelajaran writing yang aku terima saat aku les Inggris, banyaknya buku yang sudah aku baca dan ditambah aku yang sudah menulis blog selama bertahun-tahun memang membuatku setidaknya sedikit banyak paham konsep menulis. Setelah sekian lama tidak baca novel lagi, harus aku akui bahwa memang cerita drama akan terlihat lebih indah apabila diceritakan melalui tulisan dibandingkan film. Dengan tulisan kita bisa mengetahui lebih detail mengenai konflik batin karakternya sendiri dan apa yang sedang dipikirkannya. Sehingga membuat kita terikat lebih dalam secara emosional dibandingkan dengan ketika kita menonton sebuah film drama. Gosh, maybe I should write my own novel.
Critical Eleven Critical Eleven Reviewed by Steven on October 14, 2015 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.